Selasa, Februari 16, 2010

Warga Kampungbeting Minta Dibuatkan RT dan RW

JAKARTA, MP - Lantaran status kependudukan yang tidak jelas dan dianggap liar, sekitar 8.000 jiwa atau 1010 Kepala keluarga (KK) Kampungbeting, Tuguutara, Koja, Jakarta Utara meminta Pemerintah Kota Jakarta Utara (Pemkot Jakut) membentuk rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW). Sebab, selama ini warga merasa kesulitan dalam hal memperoleh akses bantuan, baik dalam program kesehatan dan lain sebagainya.

“Padahal kami sudah puluhan tahun tinggal di sini, akibatnya kami seperti terpinggirkan. Oleh karena itu kami berharap, di Kampungbeting dapat dibentuk struktur RT dan RW,” ujar Rosi (56) salah satu warga, Selasa (16/2).

Menurut nenek yang telah memiliki empat orang cucu dan kerap disapa opung oleh warga sekitar mengatakan, status liar yang dialamatkan kepada warga Kampungbeting, berdampak kepada kehidupan warga yang semakin miskin. Sebab, warga kesulitan dalam memperoleh jaminan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan.

Dirinya menjelaskan, warga Kampungbeting tidak diakui oleh Pemkot Jakarta Utara sejak tahun 1990, karena pemukiman yang ditempati warga tersebut, berdiri di atas lahan sengketa seluas 4,5 hektar yang diklaim milik PT Kontindo Raya setelah adanya surat ijin penunjukan penggunaan lahan pada tahun 1976 dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, ada juga surat edaran dari Walikota Jakarta Utara pada tahun 1990 yang melarang warga mendirikan bangunan di kawasan tersebut.

Perwakilan Forum Bersama Penggugat Kampungbeting (FBPK), Ricardo Hutahaean menjelaskan, tuntutan warga semata-mata bertujuan mendapatkan akses terhadap program Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Jakarta Utara. Dirinya menambahkan, wilayah yang dianggap sebagai tanah sengketa itu telah diputuskan sebagai tanah negara. Dasarnya adalah Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Jakarta Utara pada tahun 2001. “ Dalam surat itu disebutkan belum pernah ada pengajuan sertifikat atas tanah di Kampungbeting,” katanya.

Sebelumnya, Ricardo juga menyatakan, kemiskinan menjadi alasan utama maraknya kasus penjualan anak yang terjadi di Kampungbeting. Berdasarkan data yang ia miliki tercatat, telah terjadi 25 kasus penjualan anak selama kurun waktu 1990-2010 dengan modus mengganti uang persalinan.

Mayoritas warga Kampungbeting yang terdiri dari sekitar 1010 KK, saat ini sebagian besar berprofesi sebagai buruh informal dengan penghasilan yang sangat minim. Bahkan, ada pula warga yang berprofesi sebagai pekerja seks komersil. Hal tersebut juga diperparah dengan sanitasi yang buruk dan lingkungan yang kotor.

Menanggapi hal itu, Lurah Tuguutara, Koja, Jakarta Utara, Muhammad Iqbal mengatakan, warganya yang tinggal di wilayah Kampungbeting terbagi menjadi dua. Sebagian warga masuk ke RW 18 dengan 8 RT, sebagian lagi masuk ke wilayah grey area atau abu-abu yang masih dalam status sengketa. “Akibat sengketa itu mereka tidak tercatat dalam struktur RT dan RW,” jelas Iqbal.

Dia menjelaskan, meski pembentukan RT dan RW tidak dapat dilakukan lantaran masih terdapat sengketa lahan, selama ini, pihaknya mengaku tetap memberikan kemudahan pelayanan kesehatan seperti pelayanan puskesmas, posyandu dan persalinan. “Kalau untuk berobat di puskesmas dan persalinan, kita berikan pelayanan gratis bagi warga yang tidak mampu,” katanya.

Ia menambahkan, dari data yang ada, warga Kampungbeting terdiri dari tiga blok yakni Blok A sebanyak 439 KK, Blok B 240 KK, serta Blok C sebanyak 331 KK. “Dari jumlah itu tercatat 1.455 KK yang mendapatkan jaminan kesehatan dengan rincian 514 KK pemegang kartu Gakin yang dikeluarkan Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan 941 KK pemegang Jamkesmas yang dikeluarkan Departemen Kesehatan RI,” tambahnya.

Sedangkan untuk permintaan pembentukan RT dan RW, Iqbal mengaku, hingga saat ini masalah tersebut masih dalam pembahasan dan kajian Pemkot Jakarta Utara untuk ditindaklanjuti ke tingkat provinsi.

“Jika ada titik temu antara pemilik yang sah dengan penghuni bisa saja dibentuk RT dan RW. Dari penelusuran kami, lahan seluas 4,5 hektar itu sebelumnya tidak ada pembayar pajaknya, tapi untuk tahun 2009 ini ternyata ada yang membayar yakni sebesar Rp 100 juta. Kami sedang melakukan penelusuran, apakah PT Kontindo Raya atau bukan yang membayar. Sebab, perusahaan tersebut pada 1998 diputuskan pailit,” tandasnya. (red/*bj)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails