
Informasi yang berhasil dihimpun, pasangan Haris Rifana dan Dini Yulianti, keduanya berprofesi sebagai pengamen keliling, mengaku merelakan dua dari enam anaknya diserahkan kepada orang lain, pada tahun 1995 dan 2000 silam. "Kami butuh uang dan mereka punya uang yang kebetulan belum punya keturunan. Jadi mereka yang ngurus anak-anak kami, apa itu salah," ujar Dini saat ditemui di rumahnya di Kampung Beting Remaja, Blok A, Kelurahan Tugu Utara, Koja, Jakarta Utara, Senin (15/2).
Haris dan Dini hanya meminta dibayarkan ongkos persalinan antara Rp 500 ribu dan Rp 1 juta. Putri kedua diambil oleh seorang keturunan Tionghoa asal Bandung, sedangkan yang ke empat diambil oleh orang asal Surabaya. "Saya tidak tahu di mana mereka sekarang, sampai saat ini kedua orang itu nggak pernah bawa anak-anak untuk ketemu saya. Padahal saya ibu kandungnya," ujar Dini sambil meneteskan air mata.
Meski sudah lama ‘menjual’ anaknya, Dini maupun Haris mengaku menyesal melakukan hal itu. Namun karena terdesak ekonomi untuk biaya persalinan, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. "Saat itu kami benar-benar terpaksa karena sudah tidak ada uang lagi untuk persalinan," tukas Haris.
Pasangan suami isteri ini menikah pada 1992 silam dan mereka langsung berpisah dari keluarga besarnya masing-masing. Kabarnya pernikahan mereka tidak direstui oleh kedua orangtuanya. Saat ini, mereka sepertinya sudah tidak diakui oleh keluarganya. “Baik keluarga saya maupun keluarga istri, tidak ada yang mau mengakui kami, sebab kami miskin," kata haris lagi.
Selanjutnya ia menyebutkan bahwa sejak putra pertama lahir, ia kerap diserang sakit kepala yang teramat sakit, meriang dan suka muntah. Diduga ia sering terkena vertigo atau sakit kepala di bagian sebelah. Karena tidak memiliki uang maka penyakitnya itu hanya dirasakan saja, tanpa diobati.
Saat ini, keduanya tinggal dengan ke empat anaknya, yang masing-masing bernama Rahmat Hidayat (16), Sarah Amelia (12), Latif Fadilah (6), dan Tiara Adinda (4). Keduanya berjanji untuk membesarkan anak-anaknya, walau hidup dalam kemiskinan. Kini anak suluhnya, rahmat, telah duduk di bangku kelas tiga SMP. Namun biaya sekolahnya sering nunggak lantaran tak ada uang. Bahkan saat ini biaya SPP nunggak hingga lima bulan.
Ironisnya, saat ini Dini tengah hamil delapan bulan dan masih berencana untuk menjual anaknya untuk ketiga kalinya. Dalihnya sama seperti sebelumnya, yakni karena tak memiliki uang untuk biaya persalinan. Padahal, sebelumnya ia berjanji tidak akan menjual lagi anaknya. Anak yang dikandungnya sekarang ini merupakan anak ke tujuh. Ia menawarkan janinnya itu pada setiap orang, terutama yang membutuhkan anak, seharga RP 550 ribu hingga Rp 1 juta. "Saya melakukan ini, karena sudah tidak punya uang sama sekali," katanya.
Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Forum Bersama Penggugat Kampung Beting, Ricardo Hutahaean menyebutkan, berdasarkan data yang diperoleh sejak 1990 hingga 2010 sedikitnya ada 25 kasus penjualan anak di Kampung Beting Remaja. "Motifnya karena kemiskinan, mereka tidak punya biaya persalinan. Namun biaya persalinan itulah yang akhirnya menjadi modus untuk jual beli anak," kata Ricardo, Senin (15/2).
Sementara, mendengar adanya informasi tentang jual beli anak, sedikitnya lima lima petugas Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Kepolisian Resort Metro Jakarta Utara, langsung mendatangi kediaman pasangan suami isteri itu. "Kami datang untuk menggali informasi soal kabar penjualan anak yang muncul di media," kata Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Jakarta Utara, Ajun Komisaris Polisi, Sri Pamujiningsih di rumah Haris di Kampung Beting, Koja, Jakarta Utara.
Pengumpulan informasi dilakukan dengan mewawancarai sejumlah tetangga Dini. Seperti kepada Atun, salah satu tetangga Dini, didapati informasi bahwa sejauh ini wanita berusia 24 tahun yang hamil delapan bulan ini baru sebatas menawarkan. Sehingga petugas belum menemukan perbuatan penjualan anak. Dengan begitu, Dini belum diperiksa di kantor polisi. "Kami tidak bisa menindak," ujar Sri.(red/*bj)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar