Kamis, Maret 04, 2010

Karena Miskin, Bayi Penderita Hydrocepalus Terlantar

JAKARTA, MP - Lantaran kedua orangtuanya berasal dari kalangan keluarga miskin (Gakin), Ahmad Fauzan (1,1), bocah pengidap hydrocepalus (kepala besar), terpaksa harus meratapi nasibnya. Kepalanya yang kian membesar, membuatnya susah bergerak. Sehingga ia hanya terbaring lemah di rumah kontrakan berukuran 3 x 3 meter di Gang Dadap, RT 001/06, Nomor 62, Kelurahan Sunteragung, Tanjungpriok, Jakarta Utara.

Sejatinya, Gerhanama (27) dan Sutinah (25), kedua orangtua Fauzan ingin membawa anaknya berobat ke rumah sakit namun karena tak memiliki uang mereka pun terpaksa ‘membiarkan’ anaknya, sambil menunggu belas kasihan dari masyarakat sekitar. Sebagai keluarga miskin, mereka juga tak memiliki kartu Gakin yang dikeluarkan dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta.

Ada upaya untuk mengurus kartu Gakin, sebagai modal dasar perawatan di rumah sakit, namun upayanya itu selalu dipersulit. Padahal sejauh ini, Fauzan belum pernah mendapatkan perawatan kesehatan yang layak. "Saya selalu dipingpong ketika mau mengurus kartu Gakin," kata Gerhanama, ayah Fauzan saat dijumpai di kontrakannya, Kamis (4/3).

Ia menuturkan, putra pertamanya itu sudah terdeteksi mengidap hydrocepalus sejak dalam kandungan. Oleh karena itu, ketika usia kandungan enam bulan, ia lahir secara prematur. "Dulu lahirnya lewat operasi caesar karena kondisi kepala Fauzan sudah mulai membesar," lanjut Gerhanama yang sehari-hari hanya berprofesi sebagai kuli bangunan.

Ironisnya, selain ukuran kepalanya yang besar, secara fisik Fauzan juga tidak normal. Jari-jari tangan dan kaki belum terbentuk sempurna alias masih rapat, bahkan seperti berselaput. Tak hanya itu, langit-langit mulutnya juga tak ada. Fauzan sempat dibawa ke RS Fikri, Karawang namun dokter setempat mengatakan bahwa butuh biaya Rp 100 juta untuk mengobati penyakit Fauzan.

Berhubung orangtuanya tidak mampu maka Fauzan pun kembali dibawa pulang ke rumah neneknya di Kampung Sukagena, Subang, Jawa Barat. Ironisnya, di tempat tersebut Fauzan juga tak mendapat perawatan kesehatan apa-apa. Faktornya sama, karena orangtuanya tak memiliki biaya untuk berobat.

Karena sudah kadung pusing akhirnya Gerhanama memutuskan untuk membawa kembali anaknya ke Jakarta dua bulan silam. Ia berharap bisa mendapatkan perawatan kesehatan lebih layak. "Soalnya, kata Pak RT di Jakarta anak saya bisa dapat pelayanan kesehatan gratis asalkan mempunyai Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM)," ujarnya. Namun sayang, ternyata harapan menyembuhkan Fauzan tak juga terealisasi.

Kini memang Gerhanama telah mengantongi SKTM sehingga dapat membawa anaknya berobat ke Puskesmas Sunteragung. Namun karena minim peralatan, maka pihak puskesmas merujuk pasiennya itu ke RSUD Koja. Lagi-lagi karena faktor keterbatasan peralatan maka Fauzan dirujuk ke RSCM. Getirnya, saat dibawa ke RSCM pada dua pekan silam, Fauzan hanya diperiksa dan diberi obat puyer.

Sepekan kemudian, Fauzan kembali ke RSCM dan diminta untuk dilakukan CT Scan. Sayangnya pihak rumah sakit tak membebaskan pembiayaan Fauzan meskipun sudah memiliki SKTM. "Saya harus bayar setengah harga dari total tagihan Rp 600 ribu. Itu baru penanganan CT Scan," kata Gerhanama. Pihak rumah sakit juga meminta kartu Gakin jika pembiayaan nol persen, sedangkan untuk SKTM harus ada kontribusi membayar 50 persen dari tagihan.

"Uang senilai itu sangat besar buat kami. Oleh karena tak punya biaya, penindakan CT Scan itu pun ditunda dan saya meminta waktu hingga tanggal 15 Maret nanti," kata pria yang berpenghasilan Rp 25 ribu per hari sebagai kuli bangunan.

Ia mengaku, saat ini sedang tidak ada pekerjaan alias menganggur. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja mereka hanya mengandalkan belas kasihan dari sanak saudara serta tetangga sekitar. "Ini saja buat makan dan transportasi ke RSCM, uangnya diperoleh dari sumbangan para tetangga," katanya.

Selanjutnya, Gerhanama pun mencoba mengurus Kartu Gakin ke Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara. "Tapi tidak bisa. Kalau sudah punya SKTM, katanya tidak bisa bikin kartu Gakin," ujarnya.

Ia lalu ke kantor Dinas Kesehatan DKI Jakarta di kawasan Tanahabang, Jakarta Pusat. Namun sesampainya di kantor tersebut, ia hanya diberi secarik kertas yang isinya agar bertemu dengan Imel, salah satu petugas di RSCM. “Katanya sih sudah gratis, tapi saya masih diminta bayar setengah untuk CT Scan," katanya.

Karena merasa usahanya tidak membuahkan hasil, akhirnya Gerhanama pun pasrah. Kini mereka hanya berharap pada pemerintah dan para donatur untuk dapat membantu meringankan beban penderitaan anaknya. "Tolonglah bantu kami," rintihnya.

Kepala Sudin Kesehatan Jakarta Utara, Kurnianto Amin mengungkapkan, sebenarnya fungsi SKTM sama dengan Kartu Gakin. Meskipun dalam aturannya harus ada kontribusi, namun masih bisa negosiasi dengan petugas Dinas Kesehatan di RSCM. "Jika memang benar-benar orang itu tidak mampu bisa saja nol persen," jelasnya.

Sebab, untuk tahun ini, pembuatan kartu Gakin sudah tak ada penambahan lagi. Namun untuk penggantinya warga miskin bisa menggunakan SKTM. "Malah kalau memang ia mempunyai kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Raskin, Bantuan Langsung Tunai (BLT) silakan saja dilampirkan karena fungsinya sama dengan kartu Gakin," katanya.(red/*bj)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails